Pada hari Selasa, 10 Juni 2025, perwakilan dari Indonesia AIDS Coalition (IAC) bersama dengan para rekan Organisasi Masyarakat Sipil (Transmen Indonesia, Arus Pelangi, PKNI, LBH Masyarakat, FSBPI, Perempuan Mahardhika, OPSI, dan YIFoS) melakukan audiensi dengan Komnas HAM.
Kegiatan audiensi ini dimaksudkan untuk menyampaikan isu-isu krusial terkait RUU Penghapusan Diskriminasi. Kegiatan ini menjadi momentum penting untuk mendorong komitmen negara dalam memastikan perlindungan HAM yang menyeluruh bagi warga negara tanpa adanya diskriminasi.
Audiensi dibagi dalam beberapa cluster isu, masing-masing dikoordinasikan oleh Penanggung Jawab Isu (PIC) yang telah menyiapkan pokok-pokok permasalahan. Setiap PIC bertanggung jawab mengkoordinasikan diskusi dengan organisasi lain dalam cluster, juga menyampaikan isu secara ringkas maksimal lima menit per topik.
Cluster LGBTIQ+, yang diwakili oleh Arus Pelangi dan Transmen Indonesia, memaparkan tren kekerasan berbasis orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender, serta karakteristik seks (SOGIESC). Mereka menyoroti pembatasan ruang gerak, kasus kekerasan berulang, serta maraknya produk hukum diskriminatif di tingkat daerah, khususnya di Provinsi Jawa Barat. Dokumen desk review yang dilampirkan menjadi bukti bagaimana kebijakan publik kerap melanggengkan ketidakadilan bagi kelompok LGBTIQ+.
Cluster HIV, diwakili IAC, menekankan masih banyaknya pelanggaran hak dasar terhadap Orang dengan HIV (ODHIV), seperti pemaksaan tes HIV, pembukaan status tanpa persetujuan, hingga pemutusan kerja sepihak. Meskipun sudah ada Keputusan Kementerian Ketenagakerjaan Nomor KEM.68/MEN/IV/2024 yang mewajibkan perlindungan terhadap ODHIV, implementasinya belum efektif karena ketiadaan mekanisme sanksi bagi perusahaan pelanggar. Penekanan juga disampaikan terhadap pasal kriminalisasi distribusi alat kontrasepsi, terutama kondom, yang berdampak bagi populasi kunci muda.
Cluster Napza, yang diwakili oleh PKNI, mengangkat urgensi reformasi kebijakan narkotika agar lebih berorientasi pada kesehatan publik, bukan semata pendekatan pidana. Penekanan diberikan pada revisi tingkatan gramasi bagi pidana narkotika dan absennya intervensi rehabilitatif bagi pengguna napza.
Cluster Minoritas Agama menyoroti dua produk hukum yang berdampak signifikan. Pertama, adalah Putusan MK bulan Januari 2025 yang mewajibkan pencantuman agama pada dokumen kependudukan. Kedua KUHP tahun 2023 yang mulai berlaku pada tahun 2026. Keduanya dinilai berpotensi meningkatkan diskriminasi dan persekusi terhadap individu yang tidak menganut agama resmi pemerintah. Diskusi juga mencakup peluang advokasi melalui RUU Kebebasan Beragama dan RUU Anti Diskriminasi yang komprehensif.
Cluster Disabilitas, diwakili oleh LBHM, menyampaikan masalah syarat sehat jasmani-rohani dalam rekrutmen kerja, diskriminasi dalam layanan perbankan terhadap penyandang disabilitas intelektual, serta minimnya akses informasi akibat bahasa yang tidak inklusif.
Cluster Buruh, yang diwakili oleh FSBPI, menekankan pelanggaran hak maternitas, sistem kerja eksploitatif, serta maraknya pemutusan hubungan kerja massal.
Cluster Perempuan, yang diwakili oleh Perempuan Mahardhika, menyoroti isu femisida, kekerasan seksual dan rumah tangga, kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM, serta diskriminasi dalam pemberian layanan publik.
Cluster Pekerja Seks, dengan PIC OPSI, secara singkat menekankan dampak kriminalisasi pekerja seks terhadap akses ke keadilan dan perlindungan sosial.
Terakhir, Cluster Orang Muda & Interseksional Isu yang dikoordinasikan oleh YIFoS, menekankan urgensi penghapusan upaya pengubahan paksa orientasi seksual, juga perlunya pendekatan keamanan holistik bagi orang muda queer yang rentan.
Audiensi ini menjadi pengingat bahwa perjuangan mewujudkan kesetaraan bagi seluruh warga negara memerlukan konsolidasi lintas isu. Komnas HAM diharapkan dapat memperkuat peran pengawasan, advokasi, serta mendorong kebijakan non-diskriminatif yang berpihak pada keberagaman di Indonesia.